Warning: session_start(): open(/home/palugod/public_html/src/var/sessions/sess_7a43d54d6f65fc954ee12e5fd5569462, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/palugod/public_html/src/bootstrap.php on line 59

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /home/palugod/public_html/src/var/sessions) in /home/palugod/public_html/src/bootstrap.php on line 59
Dari Globalisasi ke Arah Deglobalisasi Pasca-Trump Tariff - Suara Dunia

Dari Globalisasi ke Arah Deglobalisasi Pasca-Trump Tariff

17 hours ago 6
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Dari Globalisasi ke Arah Deglobalisasi Pasca-Trump Tariff (Dok. IPB)

GLOBALISASI perekonomian telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di negara-negara sedang berkembang (NSB). Bagi sebagian negara, terutama bagi negara industri maju (NIM), mendatangkah berkah. Namun, bagi sebagian besar lainnya, terutama sebagian besar NSB, belum banyak membawa manfaat. Bahkan tak sedikit menimbulkan bencana, baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran maupun menajamnya ketimpangan.

Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kepentingan Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Akan tetapi, harus juga siap dengan tiba-tiba dunia termasuk Indonesia menghadapi ancaman ‘perang dagang’ dan kemungkinan terjadinya proses deglobalisasi.

GLOBAL BUBBLE ECONOMY: DECOUPLING SEKTOR FINANSIAL DAN SEKTOR RIIL

Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni, semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya (tergabung dalam G-7). Hal itu juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia pun masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam World Trade Organization (WTO).

Jika ditilik secara intensif, kita melihat bagaimana asas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO, di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi ’wasit’ dalam proses globalisasi. Ini mengingat jargon the borderless world yang mereka implementasikan dalam aturan WTO, bahwa semua negara yang telah meratifikasikan pelbagai aturan yang tercantum dalam WTO, antara lain terpenting semua negara harus menghilangkan semua hambatan perdagangan--baik tarif maupun nontarif--dengan jadwal keharusan pelaksanaannya yang sangat ketat, beserta sanksi yang keras jika sebuah negara tak menaatinya.

Dengan begitu, berarti semua negara tanpa kecuali berada dalam persaingan bebas dalam perdagangan internasional. Dengan harga dan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan, mereka harus bersaing tanpa perlindungan (proteksi tarif maupun nontarif) dan subsidi apa pun kecuali untuk hal-hal yang sangat terbatas, misalnya bantuan untuk pelatihan bagi kalangan SME (small and medium enterprises).

Juga dalam ’era WTO’ ini, berarti asas neoliberalisme cenderung mengabaikan keragaman kemampuan di antara negara-negara dalam level of playing field. Padahal dengan prinsip tersebut, persaingan hanya akan menghasilkan kemakmuran bersama (prinsip pareto optimality/positive some game) jika diciptakan suatu kesamaan level dalam kemampuan tiap-tiap peserta/pelaku kegiatan ekonomi.

Ini justru dalam perspektif Adam Smith, bapak/pendiri ekonomi modern, harus berada dalam ‘kesetaraan level pasar’ guna menciptakan persaingan di antara para pelaku ekonomi, baik tingkat perusahaan maupun negara. Dengan kata lain, seperti layaknya dalam dunia pertinjuan dengan adanya kelas-kelas yang dipertandingkan (yang sama levelnya: ringan, terbang, dan berat), maka dalam alam globalisasi ekonomi yang dipimpin WTO dan negara Industri, itu cenderung diabaikan.

Dengan suasana ini memang secara positif masing-masing mempersiapkan semaksimal mungkin agar pada saatnya mampu memasuki dalam era persaingan global yang keras tersebut. Ini antara lain terlihat dari kesibukan para pelaku ekonomi dan politik menyambutnya dengan pelbagai kegiatan, baik di tingkat mikro (peningkatan kapabilitas SDM, manajerial, permodalan, teknologi, informasi) maupun makro (demokratisasi politik, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, deregulasi ekonomi, reformasi birokrasi).

Dengan begitu, dilihat dari sisi ini, kejatuhan pemerintahan otoritarian dan korup di pelbagai belahan dunia termasuk di negeri ini pada akhir abad 20, bisa dipahami sebagai konsekuensi positif dari adanya tuntutan global dalam meningkatkan daya saing bangsa dalam era globalisasi.

Namun, dampak lainnya juga amat dahsyat. Antara lain dalam perkembangan dunia finansial. Diawali dalam rangka reposisi kalangan MNC (multi-national corporation) menghadapi persaingan global. Yakni, pada awal tahun 80-an, kalangan MNC bermula berpangkalan di AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan. Mereka memanfaatkan dana-dana menganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun dan asuransi. Juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas dalam pasar uang.

Cara ini lantas menjalar ke negara-negar industri lainnya di Eropa dan Jepang. Lantas ke negara-negara industri baru: Singapura dan Hong Kong, hingga menginggapi semua negara dan menjalar ke semua level perusahaan (besar, menengah, bahkan kecil) yang praktis di akhir tahun 80-an dan 90-an terjadi peningkatan arus moneter yang sangat luar biasa dahsyatnya, tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara.

Pakar manajemen tingkat dunia Peter Drucker menyebut gejala ketidakseimbangan arus moneter dengan arus barang dan jasa tersebut sebagai adanya decoupling. Yakni, fenomena keterputusan antara maraknya arus uang yang tak diimbangi dengan arus barang dan jasa. Bersamaan dengan fenomena tersebut, marak pula kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan properti), sehingga dunia terjangkit penyakit ’ekonomi gelembung’ (bubble economy). Sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

Sekadar ilustrasi dari fenomena decoupling itu, misalnya sebelum krisis Asia, dalam satu hari dana yang gentayangan di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata beredar sekitar US$2 triliun-US$3 triliun atau dalam satu tahun sekitar US$700 triliun. Padahal, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun hanya berkisar US$7 triliun. Jadi, perbandingannya berarti arus uang sekitar 100 kali lebih cepat daripada arus barang.

Sejak itu pula, fungsi uang bukan lagi sekadar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Sebaliknya, mereka yang merugi dalam satu titik waktu transaksi bisa mengalami kerugian miliaran dolar AS (triliunan rupiah).

Selanjutnya dalam konteks ’ekonomi gelembung dunia’ tersebut, bagaimana relevansi utang (baik utang pemerintah, lembaga multileteral, maupun investasi langsung swasta asing) bagi negara-negara dunia ketiga?

Sesungguhnya, hingga sekitar tengah dekade tahun 80-an, persepsi tentang utang luar negeri secara umum di dunia ketiga masih menggambarkan prospek positif, mengingat kisah sukses yang dicapai beberapa negara. Antara lain sejak sukses fantastis negara non-Barat yang dipertontonkan Jepang, disusul empat negara industri baru (Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong) serta Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan India yang kesemuanya di Asia.

Selain itu, Pantai Gading di Afrika adalah contoh negara-negara yang dianggap sukses mengelola utang secara relatif efisien dan efektif. Yang dianggap ’lumayan’ antara lain Mesir, Brasil, Argentina, Meksiko, Cile, dan Peru. Artinya, negara-negara yang disebut terakhir pernah gagal lantas kembali mampu memperbaiki kinerja ekonomi maupun politiknya, dengan tetap memanfaatkan utang luar negeri untuk strategi pembangunannya.

Adapun hampir sebagian besar negara Afrika dan Amerika Latin serta Asia Selatan lainnya dianggap telah terperangkap oleh utang sejak awal keterlibatan dengan utang luar negeri hingga kini. Penyebabnya justru karena umumnya negara-negara tersebut otoriter dan/atau korup.

Itu semua merupakan situasi umum sebelum krisis Asia dan globalisasi yang semakin riil sejak awal tahun 90-an. Artinya, terdapat tiga kategori negara-negara dunia non-Barat dalam memanfaatkan utang luar negeri: Sukses, lumayan, dan gagal. Indonesia sendiri masih dapat dikategorikan di tengah-tengah, antara sukses dan gagal. Dan itu terkait bukan hanya karena kaitan utang luar negeri dengan manajemen ekonomi an sich, tapi juga erat hubungannya dengan tingkat dan proses demokrasi politik, ekonomi, dan sosial secara timbal balik.

Selanjutnya, terutama sejak krisis Asia tengah 1997, persepsi tentang utang luar negeri berubah arti secara signifikan. Yakni, karena fenomena atas peran fund managers semacam Soros dkk, global and national bubble economy, bad governance, dan hegemoni negara industri yang telah menciptakan ketidakadilan global. Maka, persepsi tentang utang luar negeri baik bilateral, multilateral (terutama peran IMF dan World Bank), utang swasta (peran utang jangka pendek dan portfolio investment) telah dipersepsikan sangat merugikan NSB, bahkan sebagai bentuk baru kolonialisme dan imperialisme. Yang masih dianggap positif tampaknya ialah modal asing dalam bentuk FDI (foreign direct investment) yang relatif bagi negara-negara penerima investasi masih le...

Read Entire Article