Menanti Kiprah Satgas Antikekerasan Kampus

2 days ago 11
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Menanti Kiprah Satgas Antikekerasan Kampus (Dok. FISIP Unair)

KOMITMEN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) untuk mencegah agar mahasiswa tidak menjadi korban tindak kekerasan (seksual) diwujudkan, salah satunya, dengan pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS).

Satgas PPKS merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 (Permendikbud-Ristek 55/2024) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) yang menggantikan Permendikbud-Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) (Media Indonesia, 26 Mei 2025).

Saat ini sudah 100% PTN memiliki satgas PPKS,dan untuk perguruan tinggi swasta tercatat baru 61%. Tidak hanya dalam penanganan tindak kekerasan seksual, saat ini Kemendikti-Saintek dilaporkan juga akan memperluas wewenang satgas PPKS menjadi untuk seluruh jenis kekerasan. Artinya, yang dimaksud dengan kekerasan di sini bukan hanya mencakup tindak kekerasan seksual saja, melainkan juga berkaitan dengan setiap perbuatan, dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis.

DARURAT KEKERASAN SEKSUAL

Jika dibandingkan dengan tindak kekerasan lain, kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang terus bermunculan di sejumlah perguruan tinggi boleh dibilang yang paling meresahkan. Kampus yang seharusnya steril dari tindak pelecehan seksual ternyata justru menjadi tempat yang terbukti berbahaya bagi keselamatan dan kehormatan mahasiswi. Tidaklah berlebihan jika dikatakan di kampus sekarang sedang dalam kondisi darurat pelecehan seksual.

Menurut data Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbud-Ristek), di lingkungan satuan pendidikan tercatat kasus kekerasan seksual yang terjadi sebanyak 115 kasus, perundungan sebanyak 61 kasus dan intoleransi sebanyak 24 kasus. Kasus terbanyak diketahui terjadi pada lingkup perguruan tinggi. Kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman, aman dan menyenangkan, ternyata mengidap ancaman yang berbahaya bagi keselamatan mahasiswa.

Tidak sedikit korban tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memilih berdiam diri, dan memendam penderitaan mereka sendiri. Mereka hanya bisa menangis sedih tanpa ada keberanian untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang. Ketakutan kalau tidak diluluskan pelaku yang notabene dosen mereka sendiri, perasaan tertekan karena tidak ada saksi yang bisa mendukung pelaporan mereka, dan lain sebagainya membuat korban tidak berdaya.

Selama ini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di berbagai kampus sering tidak terungkap dan bahkan cenderung ditutup-tutupi dengan dalih demi menjaga nama baik institusi. Namun, angin segar mulai muncul tatkala sejumlah korban ternyata berani menyuarakan nasib mereka.

Kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan sekadar sebuah masalah individu yang disebabkan hasrat mesum atau nafsu dosen cabul, melainkan juga sesuatu yang memiliki kaitan dengan relasi kuasa. Sebuah studi yang dilakukan Foubert (2014) menunjukkan tindakan kekerasan seksual terjadi karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.

Bias gender yang melekat dalam masyarakat juga menjadi faktor penting dalam memengaruhi terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Studi Choate (2019) menunjukkan tindakan kekerasan seksual terjadi ketika para pelaku menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksa korban melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan.

Faktor penting yang memengaruhi relasi kuasa dalam kekerasan seksual di perguruan tinggi ialah adanya budaya rape culture atau budaya pemerkosaan yang dianggap normal dalam lingkungan perguruan tinggi yang tanpa sadar memperkuat relasi kuasa (Blee and Tckner, 2015).

Budaya tersebut dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dianggap sepele, seperti guyonan seksual, lelucon tentang pemerkosaan, dan penggunaan kata-kata kasar terkait dengan gender. Walaupun kampus dikenal sebagai tempat bagi para intelektual dan akademisi yang bereputasi, dalam praktik sehari-hari tidak tertutup kemungkinan terjadi kasus-kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual dalam berbagai bentuk.

Menurut studi yang dilakukan National Sexual Violence Resource Center, 63% mahasiswa tidak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang mereka alami karena mereka tidak menganggapnya serius atau merasa bahwa mereka tidak akan mendapatkan bantuan yang memadai dari pihak perguruan tinggi. Ketidaktahuan dan kurangnya edukasi tentang kekerasan seksual juga menjadi akar penyebab kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Banyak mahasiswa tidak menyadari apa yang dianggap sebagai kekerasan seksual atau bagaimana cara melaporkannya. Menurut sebuah studi yang dilakukan Rutgers University, 49% mahasiswa tidak dapat mengidentifikasi perilaku yang dianggap sebagai kekerasan seksual dan 70% mahasiswa tidak tahu cara melaporkannya.

NORMALISASI KEKERASAN SEKSUAL

Studi yang dilakukan Rahmatika, Markhamah, dan Sabardila (2023) menunjukkan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia disebabkan dinamika kekuasaan, struktur sosial, ketidakseimbangan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan budaya patriarki. Faktor-faktor itu membuat para korban merasa tidak berdaya sehingga berujung pada normalisasi kekerasan seksual.

Meskipun terdapat kebijakan yang diterapkan di seluruh universitas yang membantu memberikan keamanan dan transparansi kepada mahasiswa yang melaporkan pelecehan seksual di kampus (campus sexual assault/CSA), literatur itu menunjukkan banyak pelecehan seksual di kampus masih kurang dilaporkan (Anihia, Reed, Anaya, D’Aniello, dan Panter, 2023).

Studi yang dilakukan Mennicke, Bowling, Gromer, dan Ryan (2021) menemukan ada beberapa alasan kenapa mahasiswi yang menjadi korban tindak kekerasan seksual untuk tidak menggunakan sumber daya formal di kampus, termasuk rasa malu, kekhawatiran akan privasi, takut akan pembalasan, takut tidak dipercaya, dan tidak ingin berurusan dengan prosedur formal.

Studi mereka juga menemukan adanya pergeseran rasa takut dalam pengungkapan pengalaman kekerasan seksual kepada sumber daya formal, dari yang semula takut tidak dipercaya, saat ini kekhawatiran yang lebih besar ialah terkait dengan prosedur pelaporan formal yang membebani para korban kekerasan seksual, sebuah bentuk emosi dan tekanan yang berbeda.

Meski telah dilakukan berbagai langkah pencegahan dan penindakan, hingga detik ini praktik tindak kekerasan seksual di lingkungan PT tak juga berakhir. Bahkan, ada indikasi kasusnya seperti fenomena gunung es. Apa yang sudah terungkap di media massa hanya puncak dari banyak masalah yang selama bertahun-tahun tertutup.

Sudah waktunya para pemimpin kampus tidak diam, atau berpura-pura kampus mereka senantiasa steril dari praktik-praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Tanpa adanya keterbukaan dan komitmen para pemimpin kampus untuk membongkar praktik cabul para dosen mereka, jangan harap kampus bisa menjadi tempat yang benar-benar aman dan nyaman bagi para mahasiswa. Semoga pembentukan satgas PPKPT mampu menawarkan jalan keluar yang terbaik.

Read Entire Article