Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa mengumumkan kabinet pemerintahan transisi pada Sabtu (29/3). Ini adalah babak baru bagi Suriah, usai puluhan tahun di bawah kepemimpinan keluarga Assad.
Bentuk pemerintahan baru ini juga dinilai sebagai langkah Suriah untuk semakin dekat dengan negara-negara barat.
Dilansir reuters, pemerintahan Suriah yang dipimpin oleh otoritas Muslim ini mendapat tekanan dari negara-negara Barat dan Arab untuk membentuk sebuah pemerintahan yang lebih inklusif, untuk menggambarkan negara mereka yang dihuni oleh banyak etnis dan komunitas keagamaan.
Akhirnya, al-Sharaa mengumumkan pemerintahannya. Ada seorang perempuan yang beragama Kristen, dan merupakan minoritas, Hind Kabawat. Ia didapuk sebagai Menteri Sosial dan Tenaga Kerja.
Lalu ada Mohammed Yosr Bernieh yang dipercaya sebagai Menteri Keunagan, dan Murhaf Abu Qasra serta Asaad al-Shibani, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan kembali mengisi posisi yang sama.
Mereka berdua, adalah telah menjabat saat Assad digulingkan pada Desember 2024, sebagai bagian dari tim transisi pemerintahan yang pertama.
Sharaa sendiri dipercaya sebagai presiden interim, dan berjanji akan membentuk sebuah pemerintahan transisi yang inklusif. Ia punya rencana, akan membangun kembali institusi publik Suriah, dan memimpin sampai pemilu mendatang, yang bisa saja baru diadakan 5 tahun mendatang.
Pemerintahan Transisi baru ini juga tak memiliki perdana menteri, sehingga al-Sharaa memegang kekuasaan eksekutif.
Pembentukan pemerintahan transisi ini adalah langkah lanjutan dari deklarasi konstitusi Suriah yang dibacakan pada awal Maret 2025. Pada konstitusi ini, Hukum Syariat Islam akan jadi pusat kebijakan tapi tetap menjamin hak-hak perempuan dan hak-hak kebebasan berekspresi.