REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan menyita dan menyegel lahan sawit yang dianggap ilegal. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, I Gde Pantja Astawa menilai, langkah tersebut berpotensi cacat hukum karena tidak didasarkan pada prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan.
Prof Pantja menekankan pentingnya memahami pengertian kawasan hutan secara hukum. Dia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Februari 2012, yang menyatakan penunjukan kawasan hutan tidak dapat disamakan dengan pengukuhan kawasan hutan.
"Penunjukkan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemeritahan otoriter," kata Pantja dalam siaran pers di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Menurut Pantja, tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai harkat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukkan. Menurut putusan MK tersebut, pengukuhan kawasan hutan harus melewati empat tahapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU Kehutanan, yakni: (1) Penunjukan kawasan hutan; (2) Penetapan batas kawasan hutan; (3) Pemetaan kawasan hutan; dan (4) Penetapan kawasan hutan secara resmi.
"Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, apakah penyitaan dan penyegelan 1 juta hektare kebun sawit di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hukum, sebelumnya sudah ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan?" ucap Pantja.
Dia menjelaskan, jika suatu kawasan belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan, tindakan penyitaan dan penyegelan adalah tidak fair. Pasalnya, tindakan tersebut tidak berdasar atas hukum, yakni UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 dan PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
"Ditambah lagi baik UU Cipta Kerja maupun PP Nomor 24 Tahun 2021 dan PP Nomor 43 Tahun 2021 tersebut sama sekali tidak ada klausul penyitaan dan penyegelan," jelas Pantja.
Selain itu, Pantja juga menjelaskan, Satgas Penertiban Kawasan Hukum yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, hanya memiliki tugas yang dalam hukum administrasi negara disebut "bestuursdwang" (paksaan pemerintahan) dan "dwangsom" (pengenaan denda administratif). Tugas "bestuursdwang" dilakukan dalam bentuk penertiban terhadap perseorangan ataupun badan hukum perdata yang melanggar norma hukum administrasi, seperti tidak memiliki izin usaha pertambangan, perkebunan, dan lain-lainnya.
Adapun, tugas "dwangsom" yaitu pengenaan denda administratif. Sedangkan tindakan penyitaan dan penyegelan merupakan tindakan politional pro justisia dalam rangka law enforcement (penyelidikan dan penyidikan dalam kasus/perkara pidana). Pantja menyebut, tindakan penyitaan dan penyegelan yang dilakukan oleh Satgas berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2024, bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan dua peraturan pemerintah.
"Presiden (Prabowo) dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan (chief of government) yang memimpin dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan, serta sebagai kepala kekuasaan eksekutif (chief of executive) bertanggung jawab untuk melaksanakan UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya, sesuai dengan lafal sumpah jabatannya sebagai presiden," tutur Pantja.