
PADA mulanya banyak orang, termasuk para pakar, berpendapat media sosial atau media digital meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat demokrasi. Namun, Merlyna Lim dalam studinya tentang media sosial dan politik di Asia Tenggara menemukan hal sebaliknya. Pendapat yang menyebutkan media sosial meningkatkan partisipasi politik, menurut Merlyna Lim, terlalu menyederhanakan persoalan, mengabaikan interaksi rumit antara manusia dan teknologi.
"Digital technology was inherently never democratic. Teknologi digital tidak pernah demokratis dalam dirinya," kata Merlyna dalam diskusi bukunya, Social Media and Politics in Southeast Asia, di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/4).
Merlyna, akademisi berkebangsaan Indonesia yang menyandang posisi sebagai Canada Research Chair dalam bidang media sosial, menjelaskan itu karena media sosial bekerja dengan algoritma, sedangkan manusia lebih mudah digerakkan perasaannya. Merlyna menyebutnya politik baper, politik membawa-bawa perasaan.
"Algoritma memanipulasi perasaan manusia untuk membeli satu merek atau produk, termasuk memilih kandidat dalam pemilu. Jadi algoritma diciptakan untuk kepentingan kapitalisme dan membangun digital authoritarianism, otoritarianisme digital," kata Merlyna.
Ia menerangkan hubungan timbal balik antara media sosial dan politik tidak terlepas dari peran algoritma teknologi digital dan perasaan manusia dalam membentuk cara kita mengonsumsi politik, menyebarkan dan memanipulasi informasi. "Pengaruh informasi tidak ditentukan kualitas, tetapi viralitas, popularitas, dan penyebarannya."
Mereka yang memiliki kapital ekonomi dan kekuasaan punya peluang lebih besar memanfaatkan algoritma media sosial untuk memanipulasi informasi. Mereka merekrut relawan, pendengung berbayar, atau pemengaruh untuk membuat informasi viral dan tersebar secara luas.
PENDENGUNG
Yatun Sastranidjaja dan Wijayanto melakukan studi penggunaan buzzer atau pendengung di Indonesia. Hasil studi mereka tertuang dalam monograf berjudul Cyber Troops, Online Manipulation of Public Opinion and Co-optation of Indonesia's Cyberspace, yang diterbitkan ISEAS Yusuf Ishak Institute Singapura (2022).
Kedua peneliti menyelisik penggunaan buzzer di tiga kasus: revisi Undang-Undang KPK pada September 2019, kebijakan normal baru selama Covid-19 pada Mei 2020, dan Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020.
Ringkasan studi mereka meliputi empat poin. Pertama, manipulasi opini publik dan propaganda terorganisasi meningkat di Indonesia. Terutama sejak 2019, kampanye buzzer meningkat signifikan, yang bertujuan memobilisasi konsensus publik untuk kebijakan kontroversial pemerintah.
Kedua, operasi buzzer memainkan peran penting dalam kasus kontroversial revisi UU KPK, new normal covid-19, dan UU Cipta Kerja, ketika publik bersikap kritis terhadap ketiga isu. Dalam ketiga kasus, terang benderang terbukti buzzer memanipulasi opini publik untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Ketiga, dalam ketiga kasus, buzzer secara sengaja membanjiri media sosial dengan narasi yang mempromosikan agenda elite pemerintahan, sering kali menggunakan pesan pelintiran dan disinformasi yang diamplifikasikan oleh banyak akun buzzer dan bot. Dengan begitu, buzzer efektif menenggelamkan narasi oposisi di media sosial serta pendapat berbeda dari media arus utama.
Keempat, penggunaan buzzer secara lebih sistematis mengindikasikan meningkatnya kooptasi ruang siber Indonesia untuk kepentingan elite politik.
Intinya, operasi buzzer mengancam kualitas demokrasi karena mereka tidak hanya menjejali opini publik dengan disinformasi, tetapi juga mencegah warga negara mengevaluasi dan mengkritik perilaku elite pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan.
Padahal, kelebihan demokrasi jika dibandingkan dengan sistem politik lain ialah demokrasi itu memiliki mekanisme koreksi diri (self-corrective mechanism). Kritik menjadi mekanisme koreksi diri bagi para elite.
DISINFORMASI POSITIF
Salah satu bentuk manipulasi informasi, kata Merlyna, ialah algorithmic whitebranding atau positive disinformation dalam kampanye. “Model kampanye white branding atau positive disinformation bersifat ahistoris, sebuah politik kegembiraan yang ahistoris,’’ ujarnya.
Merlyna mencontohkan bagaimana BongBong Marcos menggunakan disinformasi positif untuk memanipulasi perasaan rakyat Filipina melalui kampanye ’Backstories with Imelda Marcos, Project During Her Times as First Lady’. Di Indonesia, algorithmic whitebranding dipraktikkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melalui citra gemoi dalam kampanye Pemilu Presiden 2024.
Studi Merlyna menunjukkan penggunaan algorithmic whitebranding sebagaimana terjadi dalam kasus BongBong dan Prabowo paralel dengan logika komunikasi kapitalis dan kultur mar...